Tantangan generasi Z, The illusion of Choice by zyvaa hayat yusuf
Zyvaa Hayat Yusuf, Zaara Hayat Yusuf, Nanang Qosim Yusuf,
Dewi Umronih Yusuf
MAN 1 Tangsel, MAN 1 Tangsel, Rumah
Kesadaran, Naqoy School of Character
Zyvaahayatyusuf@gmail.com, Zaarahayatyusuf@gmail.com, Naqoy.great@gmail.com, dewinaqoy@gmail.com
Abstract
The
development of digital technology has created a new social landscape
characterized by a flood of information and easy access to choices. Generation
Z, as a generation born and raised in the digital era, faces complex cognitive
and social challenges, one of which is the phenomenon of illusion of choice.
This illusion refers to the false perception that individuals have freedom of
choice, even though these choices have been constructed by algorithmic systems,
social pressure, and popular culture. This research aims to examine
theoretically and conceptually how the illusion of choice affects Generation
Z's identity formation, decision-making, and psychological well-being. Using a descriptive
qualitative approach and an interdisciplinary literature review, this study
draws on the theories of Paradox of Choice (Schwartz, 2004), Agenda-Setting
(McCombs & Shaw, 1972), Filter Bubble (Pariser, 2011), Cultural Hegemony
(Adorno & Horkheimer, 1944), and Technological Determinism (Winner, 1986).
The results of the study show that although Generation Z appears to have
freedom of choice, in reality many of these choices are manipulative and
directed. Therefore, it is necessary to strengthen digital literacy, critical
awareness, and character education so that Generation Z is able to distinguish
between authentic and pseudo choices.
Keywords: Generation Z,
illusion of choice, algorithms, digital culture, decision making, critical
literacy
Abstrak
Perkembangan teknologi
digital telah menciptakan lanskap sosial baru yang ditandai dengan banjir
informasi dan kemudahan akses terhadap berbagai pilihan. Generasi Z, sebagai
generasi yang lahir dan tumbuh dalam era digital, menghadapi tantangan kognitif
dan sosial yang kompleks, salah satunya adalah fenomena illusion of choice
atau ilusi pilihan. Ilusi ini merujuk pada persepsi semu bahwa individu
memiliki kebebasan dalam memilih, padahal pilihan tersebut telah dikonstruksi
oleh sistem algoritmik, tekanan sosial, dan budaya populer. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji secara teoritik dan konseptual bagaimana illusion
of choice mempengaruhi pembentukan identitas, pengambilan keputusan, dan
kesejahteraan psikologis Generasi Z. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif dan tinjauan pustaka interdisipliner, penelitian ini mengacu pada
teori Paradox of Choice (Schwartz, 2004), Agenda-Setting (McCombs
& Shaw, 1972), Filter Bubble (Pariser, 2011), Hegemoni Budaya
(Adorno & Horkheimer, 1944), serta Determinisme Teknologi (Winner,
1986). Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun Generasi Z tampak memiliki
kebebasan dalam menentukan pilihan, pada kenyataannya banyak dari pilihan
tersebut bersifat manipulatif dan diarahkan. Oleh karena itu, diperlukan
penguatan literasi digital, kesadaran kritis, dan pendidikan karakter agar
Generasi Z mampu membedakan antara pilihan yang autentik dan pilihan yang semu.
Kata kunci: Generasi Z, illusion of choice, algoritma, budaya digital, pengambilan
keputusan, literasi kritis
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir telah mengubah
lanskap kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologis manusia secara signifikan.
Generasi Z, yaitu individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an,
merupakan kelompok pertama yang tumbuh dalam era digital sepenuhnya. Mereka
sangat akrab dengan internet, media sosial, dan teknologi informasi sebagai
bagian integral dari kehidupan sehari-hari (Seemiller & Grace, 2016).
Fenomena ini melahirkan tantangan
baru yang tidak dialami generasi sebelumnya, salah satunya adalah illusion
of choice atau ilusi pilihan. Istilah ini merujuk pada persepsi
semu bahwa individu memiliki banyak opsi untuk dipilih, padahal kenyataannya
pilihan tersebut dikonstruksi, dikendalikan, atau diarahkan oleh kekuatan
eksternal seperti algoritma digital, iklan terselubung, atau tekanan sosial
yang disebarluaskan melalui media (Barwise & Watkins, 2018). Dalam konteks
media digital, pengguna merasa memiliki kendali atas informasi dan keputusan
yang mereka buat, tetapi penelitian menunjukkan bahwa kebebasan tersebut sering
kali bersifat artifisial dan dibatasi oleh sistem algoritmik (Pariser, 2011).
Bagi Generasi Z, illusion
of choice menjadi tantangan yang kompleks karena mereka terpapar secara
intens pada platform yang menawarkan beragam alternatif – mulai dari konten
hiburan, pilihan gaya hidup, hingga preferensi identitas diri. Namun, pilihan
yang tampak beragam ini justru dapat menimbulkan paradoks: semakin banyak
pilihan, semakin tinggi tingkat kebingungan, kecemasan, dan penurunan kepuasan
dalam pengambilan keputusan (Schwartz, 2004). Fenomena ini dikenal sebagai decision
fatigue, yaitu kelelahan dalam mengambil keputusan karena terus-menerus
dihadapkan pada pilihan yang tampaknya penting, namun tidak memiliki nilai
substansial.
Dalam kerangka sosiologis
dan psikologis, illusion of choice berdampak pada pembentukan identitas,
pola konsumsi, serta pola pikir kritis Generasi Z. Banyak dari mereka merasa
‘bebas memilih’, padahal pilihan tersebut seringkali tidak mencerminkan
kebutuhan personal atau nilai autentik, melainkan hasil dari manipulasi sosial
dan teknologi. Akibatnya, muncul risiko rendahnya kesadaran diri
(self-awareness), ketergantungan pada validasi eksternal, serta kesulitan dalam
menentukan arah hidup secara mandiri.
Urgensi untuk mengkaji
fenomena illusion of choice dalam konteks Generasi Z menjadi semakin
relevan, terutama dalam bidang pendidikan karakter, pengembangan kepemimpinan
muda, serta literasi digital. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, diharapkan
tercipta pendekatan edukatif dan preventif yang dapat membantu generasi ini
dalam mengembangkan kapasitas reflektif, kritis, dan sadar akan pilihan-pilihan
yang benar-benar bermakna.
LANDASAN TEORI
Fenomena illusion of
choice atau ilusi pilihan dapat dipahami melalui pendekatan interdisipliner
yang menggabungkan teori dari psikologi kognitif, komunikasi massa, dan
sosiologi kritis. Salah satu teori utama yang relevan adalah Paradox of Choice yang dikemukakan
oleh Barry Schwartz (2004). Menurut Schwartz, dalam masyarakat modern yang
menawarkan beragam pilihan, individu justru mengalami penurunan kesejahteraan
psikologis akibat meningkatnya kecemasan, keraguan, dan ketidakpuasan dalam
pengambilan keputusan. Alih-alih merasa merdeka, individu yang dihadapkan pada
terlalu banyak opsi justru mengalami tekanan untuk membuat keputusan yang
“sempurna”, sebuah kondisi yang sangat relevan dengan pengalaman Generasi Z
yang hidup dalam ekosistem digital yang kaya akan pilihan namun miskin akan
kedalaman.
Dari perspektif komunikasi
massa, teori Agenda-Setting
(McCombs & Shaw, 1972) dan Priming
menjelaskan bahwa media tidak secara langsung menentukan apa yang harus
dipikirkan oleh audiens, melainkan menentukan topik apa yang dianggap penting
untuk dipikirkan. Dalam konteks digital, algoritma platform media sosial
bertindak sebagai gatekeeper yang menyaring dan menyusun informasi berdasarkan
profil pengguna, sehingga menciptakan persepsi bahwa pengguna memiliki kontrol
atas apa yang mereka konsumsi. Padahal, pilihan-pilihan tersebut telah difilter
sebelumnya oleh sistem yang tidak sepenuhnya transparan.
Konsep ini semakin
diperjelas oleh teori Filter Bubble
yang diperkenalkan oleh Eli Pariser (2011), yang menyatakan bahwa personalisasi
algoritmik menciptakan gelembung informasi di mana individu hanya terekspos
pada pandangan dan konten yang sesuai dengan preferensi mereka sebelumnya.
Akibatnya, pengguna merasa bahwa mereka memilih secara bebas, padahal
kenyataannya mereka hanya bergerak dalam ruang pilihan yang sempit dan homogen.
Secara sosiologis, teori Hegemoni Budaya dari Adorno dan
Horkheimer (1944) memberikan kerangka kritis dalam melihat bagaimana industri
media dan budaya populer mengarahkan konsumen untuk memilih produk, gaya hidup,
hingga nilai-nilai tertentu yang sebenarnya telah dikonstruksi oleh kekuatan
kapitalis. Dalam konteks ini, Generasi Z yang tumbuh dalam budaya digital
rentan terhadap konstruksi identitas yang dikendalikan oleh tren pasar dan
logika konsumsi massal, bukan oleh refleksi diri yang otentik.
Akhirnya, dalam teori Determinisme Teknologi (Winner, 1986),
teknologi dipandang bukan sebagai alat netral, melainkan sebagai entitas yang
membentuk struktur sosial, relasi kekuasaan, dan bahkan nilai-nilai individu.
Pilihan-pilihan yang disediakan oleh teknologi digital bukan hanya
memfasilitasi kebebasan, tetapi sering kali secara diam-diam membatasi dan
mengarahkan arah hidup generasi muda.
Berdasarkan pemaparan
teoritik tersebut, dapat disimpulkan bahwa illusion of choice merupakan
gejala multidimensi yang timbul dari kompleksitas psikologis, rekayasa
algoritmik, serta konstruksi sosial-budaya. Oleh karena itu, analisis terhadap
tantangan ini perlu mempertimbangkan bagaimana Generasi Z membentuk identitas
dan pengambilan keputusan dalam lanskap digital yang tampak bebas, namun sarat
intervensi struktural.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif
dengan metode studi pustaka
(library research). Pendekatan ini dipilih karena tujuan utama
penelitian adalah untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan fenomena illusion
of choice dalam kehidupan Generasi Z secara konseptual dan teoritik. Studi
pustaka dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan, baik dari bidang
psikologi, komunikasi, sosiologi, maupun kajian media digital, guna memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang bagaimana persepsi semu terhadap pilihan
terbentuk dan berdampak pada perilaku serta kesadaran generasi muda.
Data yang digunakan dalam
penelitian ini bersumber dari buku ilmiah, jurnal terindeks nasional dan
internasional, artikel kajian teori, serta publikasi akademik lain yang
membahas topik terkait, khususnya yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Barry
Schwartz (2004) tentang Paradox of Choice, McCombs dan Shaw (1972)
mengenai Agenda-Setting Theory, Eli Pariser (2011) dalam Filter
Bubble, serta Adorno dan Horkheimer (1944) dalam kajian Hegemoni Budaya.
Analisis dilakukan dengan pendekatan analisis
isi (content analysis) untuk mengidentifikasi tema-tema utama
yang berkaitan dengan konsep illusion of choice dan bagaimana konsep
tersebut diterapkan atau tercermin dalam kehidupan sosial Generasi Z.
Dengan pendekatan ini,
penelitian berupaya menggambarkan hubungan antara konstruksi pilihan dalam
media digital dengan pengambilan keputusan, pembentukan identitas, dan
kesadaran kritis Generasi Z. Metode ini juga memungkinkan peneliti untuk
menyusun rekomendasi konseptual yang dapat dijadikan landasan dalam merancang
strategi literasi digital dan pendidikan karakter yang relevan dengan kebutuhan
generasi ini
HASIL PENELITIAN
The
illusion of choice merupakan tantangan multidimensi bagi
Generasi Z. Kebebasan memilih yang tampak dalam era digital sesungguhnya adalah
bentuk kendali halus (soft control) dari sistem teknologi, budaya konsumtif,
dan tekanan sosial. Tanpa penguatan literasi kritis, pendidikan karakter, dan
pengembangan kesadaran reflektif, Generasi Z berisiko menjadi generasi yang
terfragmentasi secara identitas, terjebak dalam kecemasan pilihan, dan
kehilangan arah hidup yang autentik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
fenomena illusion of choice tidak hanya berdampak pada cara Generasi Z
mengambil keputusan, tetapi juga membentuk pola pikir, identitas, relasi
sosial, serta kualitas kehidupan psikologis mereka secara menyeluruh. Beberapa
temuan penting dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Overload Informasi dan Kelelahan Pengambilan
Keputusan
Generasi Z secara konstan dihadapkan pada
beragam pilihan — mulai dari konten media sosial, gaya hidup, jurusan
pendidikan, hingga identitas sosial. Namun, seperti dikemukakan oleh Schwartz
(2004), semakin banyak pilihan tidak selalu berarti semakin baik. Sebaliknya,
kondisi ini menimbulkan decision fatigue (kelelahan mengambil
keputusan), yang mengakibatkan stres, penurunan motivasi, dan bahkan penyesalan
setelah memilih. Generasi Z sering kali merasa bahwa mereka telah membuat
keputusan bebas, padahal banyak dari pilihan tersebut diambil dalam keadaan terpaksa
atau karena tekanan eksistensial.
2. Dominasi Algoritma dan Pembatasan Pilihan
Salah satu penemuan penting adalah
bagaimana algoritma dalam platform digital (seperti Instagram, TikTok, dan
YouTube) membentuk ruang lingkup pilihan Generasi Z. Berdasarkan teori Filter
Bubble (Pariser, 2011), pilihan yang tersedia kepada pengguna bukanlah
hasil eksplorasi bebas, melainkan hasil kurasi sistem yang berdasarkan histori
interaksi pengguna. Hal ini menciptakan ilusi kebebasan, padahal pada
kenyataannya mereka hanya diberikan akses ke konten yang memperkuat preferensi
lama atau memvalidasi bias eksisting. Akibatnya, potensi untuk tumbuh melalui
keberagaman perspektif menjadi terbatas.
3. Budaya Konsumerisme dan Pembentukan Identitas Semu
Hasil kajian menunjukkan bahwa budaya
populer, iklan digital, dan endorsement figur publik telah menanamkan ide bahwa
“menjadi diri sendiri” harus diekspresikan melalui konsumsi produk tertentu
(fashion, gadget, gaya hidup). Dalam kerangka hegemoni budaya (Adorno
& Horkheimer, 1944), Generasi Z dibentuk untuk percaya bahwa
pilihan-pilihan konsumtif tersebut mencerminkan kebebasan, padahal merupakan
bagian dari strategi pasar. Identitas menjadi komoditas yang dipertukarkan,
bukan hasil refleksi personal yang mendalam.
4. Tekanan Sosial dan Validasi Eksternal
Media sosial mendorong Generasi Z untuk
mengambil keputusan bukan berdasarkan nilai personal, tetapi berdasarkan
ekspektasi komunitas atau tekanan kelompok. Dalam konteks ini, mereka cenderung
memilih jalur hidup, gaya berpikir, hingga sikap politik demi mendapatkan
validasi berupa “likes”, komentar positif, atau pengakuan dari lingkungan
digitalnya. Fenomena ini berdampak pada rendahnya self-awareness dan
meningkatnya kecemasan sosial (social anxiety) serta ketergantungan emosional
terhadap opini orang lain.
5. Krisis Makna dan Kehampaan Eksistensial
Ilusi kebebasan memilih yang terus-menerus
dikonsumsi oleh Generasi Z justru berkontribusi pada krisis makna hidup. Banyak
dari mereka merasa “tersesat” dalam kebebasan semu: terlalu banyak pilihan,
tetapi tidak tahu mana yang benar-benar penting. Dalam jangka panjang, kondisi
ini dapat memunculkan gejala alienasi, kebingungan identitas, dan pencarian
spiritual atau filosofis yang bersifat reaktif. Sebagian kecil dari Generasi Z
yang lebih reflektif mulai meninggalkan media sosial atau kembali pada gaya
hidup minimalis sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya ilusi ini.
6. Minimnya Literasi Kritis terhadap Sistem Digital
Penelitian juga menemukan bahwa rendahnya
literasi digital dan pemahaman terhadap cara kerja algoritma membuat Generasi Z
menjadi konsumen pasif dari sistem yang manipulatif. Mereka jarang
mempertanyakan bagaimana konten muncul di feed mereka, siapa yang mengatur arus
informasi, atau bagaimana data pribadi digunakan untuk mengarahkan pilihan
mereka. Rendahnya kesadaran ini memperkuat dominasi sistem digital terhadap
kehidupan mereka sehari-hari.
Strategi
Menghadapi Illusion of Choice pada Generasi Z
Fenomena illusion of choice, yaitu persepsi
semu terhadap kebebasan memilih, memunculkan tantangan signifikan bagi Generasi
Z, terutama dalam konteks kehidupan digital yang sarat akan intervensi
algoritmik, budaya konsumerisme, dan tekanan sosial. Oleh karena itu,
diperlukan strategi multidimensional yang bersifat preventif dan transformatif
guna membangun ketahanan kognitif, emosional, dan moral generasi ini terhadap
dominasi sistemik atas pilihan-pilihan yang mereka hadapi.
1. Penguatan Kesadaran Diri (Self-Awareness) dan Nilai
Pribadi
Strategi pertama adalah
memperkuat kesadaran diri sebagai fondasi dalam pengambilan keputusan yang
otentik. Pendidikan karakter yang berorientasi pada penemuan jati diri dan
refleksi nilai personal menjadi kunci utama agar individu tidak mudah terseret
pada pilihan-pilihan semu yang ditawarkan oleh lingkungan digital. Program
seperti pelatihan kesadaran reflektif, penulisan jurnal pribadi, dan
pembelajaran berbasis nilai (values-based education) dapat menjadi pendekatan
yang efektif.
2. Peningkatan Literasi Digital dan Algoritmik
Literasi digital tidak
hanya mencakup kemampuan teknis menggunakan media, tetapi juga pemahaman kritis
terhadap cara kerja algoritma, filter bubble, dan bias sistem digital.
Strategi ini menekankan pentingnya pembelajaran yang mampu menjelaskan
bagaimana konten dikurasi dan pilihan dikonstruksi oleh sistem, serta
mengajarkan keterampilan active information seeking sebagai bentuk
perlawanan terhadap konsumsi informasi pasif.
3. Penguatan Pendidikan Berpikir Kritis (Critical
Thinking Education)
Pendidikan berpikir
kritis harus diintegrasikan dalam kurikulum formal maupun nonformal sebagai
sarana untuk mendorong Generasi Z mempertanyakan sumber, struktur, dan motivasi
di balik berbagai pilihan yang mereka hadapi. Penerapan pendekatan inquiry-based
learning, diskusi filsafat untuk anak dan remaja, serta analisis wacana
media merupakan instrumen pedagogis yang mendukung strategi ini.
4. Reduksi Ketergantungan terhadap Validasi Eksternal
Salah satu akar dari illusion
of choice adalah dorongan untuk mendapatkan pengakuan sosial melalui media
digital. Oleh karena itu, strategi berikutnya adalah membangun ketahanan
psikologis melalui penguatan harga diri dan independensi berpikir. Hal ini
dapat dilakukan melalui kegiatan yang menekankan penerimaan diri, kontrol internal,
serta pembatasan paparan terhadap indikator validasi eksternal seperti “likes”
dan komentar media sosial.
5. Penerapan Prinsip Minimalisme Pilihan (Choice
Simplification)
Strategi ini bertujuan
mengurangi kelelahan kognitif akibat paparan pilihan berlebihan. Generasi Z
dapat dilatih untuk membuat batasan informasi dan pilihan yang mereka konsumsi
melalui prinsip less is more atau minimal decision design.
Teknik seperti matriks keputusan (decision matrix), prioritization grid,
atau pengambilan keputusan berbasis nilai prioritas dapat digunakan dalam
proses edukasi dan pelatihan.
6. Integrasi Pendidikan Spiritual dan Mindfulness
Terakhir, strategi jangka
panjang yang bersifat holistik adalah integrasi pendidikan spiritualitas,
kesadaran penuh (mindfulness), dan ketundukan pada nilai luhur sebagai bagian
dari proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini memungkinkan Generasi Z untuk
memposisikan dirinya bukan hanya sebagai konsumen dari pilihan-pilihan duniawi,
tetapi sebagai subjek yang sadar akan orientasi eksistensialnya. Model seperti The7Awareness
dapat dijadikan kerangka kerja untuk membangun kesadaran bertingkat mulai dari
berpikir sadar, kesunyian batin, hingga ketundukan kepada nilai-nilai
transendental.
KESIMPULAN
Fenomena illusion of
choice yang dialami oleh Generasi Z merupakan tantangan besar di era
digital yang sarat dengan pilihan semu yang disusun oleh algoritma, budaya
konsumerisme, dan tekanan sosial. Generasi ini, yang tumbuh dalam lingkungan
yang sangat bergantung pada media sosial dan teknologi digital, sering kali
merasa memiliki kebebasan dalam memilih, padahal pilihan-pilihan tersebut
seringkali dibatasi dan diarahkan oleh kekuatan eksternal. Kondisi ini
berpotensi menyebabkan kelelahan pengambilan keputusan, kebingungan identitas,
dan kecemasan sosial yang semakin meningkat.
Untuk mengatasi dampak
negatif dari illusion of choice, diperlukan pendekatan yang komprehensif
yang tidak hanya berfokus pada pemahaman teknis mengenai algoritma dan media
sosial, tetapi juga menguatkan kesadaran diri, nilai pribadi, dan kemandirian
berpikir. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah melalui penguatan
literasi digital, pendidikan berpikir kritis, serta pemberdayaan individu
melalui pendidikan karakter yang menekankan pada pengambilan keputusan berbasis
nilai.
Lebih lanjut, The7Awareness, yang meliputi tujuh
aspek penting dalam pengembangan diri—Thinking,
Silence, Success, Soul, Wisdom, Vision, dan Surrender—merupakan kerangka kerja yang sangat relevan untuk
membimbing Generasi Z dalam menghadapi ilusi pilihan. Dengan membangun
kesadaran melalui Thinking (pemikiran kritis), Silence (kesunyian
batin untuk refleksi diri), Success (kesuksesan yang bermakna
berdasarkan nilai-nilai pribadi), Soul (pengembangan spiritual dan
kedalaman batin), Wisdom (kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan), Vision
(pandangan hidup yang jelas dan terarah), serta Surrender (ketundukan
pada nilai yang lebih tinggi), generasi ini dapat diperlengkapi dengan kekuatan
internal yang memungkinkan mereka untuk membuat pilihan yang lebih sadar,
autentik, dan sesuai dengan tujuan hidup yang lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno,
T. W., & Horkheimer, M. (1944). Dialectic of Enlightenment. New
York: Herder and Herder.
McCombs,
M. E., & Shaw, D. L. (1972). The agenda-setting function of mass media. Public
Opinion Quarterly, 36(2), 176–187. https://doi.org/10.1086/267990
Pariser,
E. (2011). The filter bubble: What the Internet is hiding from you. New
York: Penguin Press.
Schwartz,
B. (2004). The paradox of choice: Why more is less. New York: Harper
Perennial.
Seemiller,
C., & Grace, M. (2016). Generation Z goes to college. San Francisco,
CA: Jossey-Bass.
Winner,
L. (1986). The whale and the reactor: A search for limits in an age of high
technology. Chicago: University of Chicago Press.
Barwise,
P., & Watkins, L. (2018). The war against the BBC: How an unprecedented
combination of hostile forces is destroying Britain's greatest cultural
institution... and why you should care. Penguin.
Yusuf, N. Q. (2013). The 7 Awareness. Gramedia
Pustaka Utama.
Yusuf, N. Q. (2008). The Heart of Awareness.
Hikmah.
Yusuf, N. Q. (2013). One Minute
Awareness. Gramedia Pustaka Utama.
Yusuf, N. Q., & Yusuf, D. U. (2024).
Flexing, the Fake Rich Phenomenon. Journal of Social Research, 3(4),
1052-1061.